Contoh Soal PPH Pasal 23: Uji Kemampuanmu dalam Menghitung Pajak Penghasilan

Jika kamu sedang merasa bingung dengan contoh soal PPH Pasal 23, jangan khawatir! Artikel ini akan memberikan penjelasan yang mudah dipahami tentang apa itu PPH Pasal 23 dan menunjukkan beberapa contoh perhitungan pada kasus yang berbeda-beda. PPH Pasal 23 merupakan pajak penghasilan yang harus dibayar oleh pihak non-Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak Wajib Pajak asal penghasilan tersebut bukan berasal dari usahanya. Tidak usah merasa khawatir atau bingung lagi, karena artikel ini akan membantumu untuk lebih memahami tentang konsep yang satu ini.

Pengertian PPh Pasal 23


PPh Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) adalah salah satu jenis pajak penghasilan yang dikenakan atas berbagai penghasilan yang diterima oleh wajib pajak tertentu. Pasal 23 adalah jenis pemotongan pajak secara otomatis yang dilakukan oleh pihak yang membayar penghasilan. PPh Pasal 23 berlaku pada penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak dari luar negeri.

PPh Pasal 23 melingkupi berbagai penghasilan seperti sewa, royalti, dan bunga. Terdapat dua jenis wajib pajak yang terkena PPh Pasal 23 yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) dan Wajib Pajak Badan (WP Badan).

Sebuah perusahaan harus menghitung dan membayar PPh Pasal 23 bila ia membayar penghasilan dari sumber luar negeri, termasuk royalti, sewa, bunga atau imbalan lainnya. Sementara itu, bagi individu, PPh Pasal 23 berlaku pada penghasilan yang berasal dari luar negeri.

Contoh penghasilan yang terkena PPh Pasal 23 dari luar negeri adalah sewa gedung, sewa mesin, bunga deposito, saat menerima royalti akibat pengalihan lisensi oleh wajib pajak dalam negeri (dalam hal ini pemegang hak paten, hak cipta, atau hak lainnya). PPh Pasal 23 juga dikenakan pada penghasilan dalam bentuk pembayaran imbalan dari pekerjaan bebas, jasa pelatihan, dan penyediaan jasa lainnya kepada non-residen.

Wajib pajak yang terkena PPh Pasal 23 harus mengisi SPT Tahunan PPh OP final mulai tahun 2020. Namun, tidak dapat diberikan kredit pajak sehubungan dengan PPh Pasal 23. Selain itu, Wajib Pajak Badan juga harus menyelesaikan kewajibannya dengan menyetor PPh pasal 23 ke dalam kas negara setiap bulan ataupun setiap triwulan tergantung pada peraturan di wilayah masing-masing.

Penghitungan tarif PPh Pasal 23 dilakukan dengan sistem tarif yang bergantung pada jenis penghasilan yang diterima. Tarif ini terus berubah sesuai dengan kebijakan dan aturan pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah. Adapun tarif PPh Pasal 23 untuk penghasilan sewa tahun 2021 adalah sebesar 10%, untuk penghasilan bunga adalah 15%, dan untuk penghasilan royalti adalah 15%.

Demikianlah penjelasan mengenai pengertian PPh Pasal 23. Pajak ini menjadi sangat penting bagi perusahaan atau individu yang memiliki penghasilan dari luar negeri. PPh Pasal 23 akan membantu pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak dan memastikan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Objek Pajak PPh Pasal 23


Objek Pajak PPh Pasal 23

Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak terus berupaya memperluas basis pajak dengan menambah jenis objek pajak yang kena charged. Salah satu jenis objek pajak yang dibebankan pada seseorang atau badan usaha tertentu adalah Pajak Penghasilan Pasal 23. Berikut adalah beberapa objek pajak PPh Pasal 23.

1. Uang Lembur


Uang Lembur

Objek Pajak PPh Pasal 23 yang pertama adalah uang lembur. Uang lembur merupakan tunjangan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya karena telah bekerja di luar jam kerja. Dalam Pasal 23, uang lembur termasuk dalam kategori penghasilan pasif yang dikenakan pajak sebesar 2% dari jumlah uang lembur yang diterima.

Ada beberapa kriteria uang lembur yang memengaruhi besarnya pajak yang harus dibayar, yakni kadar lembur, jenis lembur, jumlah karyawan yang menerima anggaran lembur, dan besaran gaji pokok karyawan tersebut. Semakin tinggi faktor-faktor tersebut, semakin besar pula jumlah pajak yang harus dibayarkan.

2. Jasa Konstruksi


Jasa Konstruksi

Objek Pajak PPh Pasal 23 yang selanjutnya adalah jasa konstruksi. Jasa konstruksi adalah objek pajak yang berupa pembayaran atas jasa konstruksi, baik itu jasa pelaksanaan maupun konsultan, yang diberikan oleh suatu perusahaan atau badan usaha pada pihak lainnya atau badan lain yang membutuhkan.

Dalam hal ini, PPh Pasal 23 yang dikenakan adalah sebesar 2% dari total pembayaran konstruksi yang diterima oleh perusahaan tersebut. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan pembayar pajak jika ingin memperoleh keringanan pajak. Salah satunya adalah memperoleh sertifikasi keahlian di bidang konstruksi. Dengan demikian, mereka berhak mendapatkan potongan PPh Pasal 23 hingga 50%.

3. Royalti


Royalti

Objek Pajak PPh Pasal 23 yang terakhir adalah royalti. Royalti adalah persentase pendapatan yang diberikan kepada pemilik hak kekayaan intelektual, seperti hak cipta, hak paten, hak merek dagang, dan sejenisnya. Royalti biasanya berlaku dalam situasi ketika suatu produk atau barang memiliki nilai komersial yang tinggi, yang mana pihak lain menginginkan hak untuk memanfaatkan produk atau barang tersebut untuk mendapatkan keuntungan.

PPh Pasal 23 untuk objek pajak royalti diatur dalam Pasal 23 Ayat 1D. Pajak yang harus dibayar sebesar 2% dari total pendapatan yang diterima. Berbeda dengan uang lembur dan jasa konstruksi, besarnya pajak yang harus dibayarkan untuk objek pajak royalti tidak dipengaruhi oleh besarnya suatu nilai produk atau barang.

Di Indonesia, royalti sudah banyak digunakan sebagai sumber pendapatan oleh pecinta musik, sinetron, dan film. Mereka berhak untuk mendapatkan hak atas karya-karya mereka dan memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya dalam situasi tertentu dengan membayar royalti yang sudah ditentukan sebelumnya.

Itulah beberapa objek pajak PPh Pasal 23 yang wajib dipahami oleh masyarakat. Kendati pajak ini terlihat sepele, langkah ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan memperluas basis pajak kita. Kita sebagai masyarakat harus menaati pembayaran pajak sebagai warga negara yang baik dan patuh.

Tarif PPh Pasal 23


Tarif PPh Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 atau yang sering disebut sebagai PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh pihak tertentu yang bukan merupakan Wajib Pajak. Dalam pengenaannya terdapat beberapa tarif yang harus dipahami oleh masyarakat sebagai mana penjabaran di bawah ini:

1. Tarif PPh Pasal 23 untuk Jasa

Salah satu objek pengenaan PPh Pasal 23 adalah jasa, dalam penjabaran di bawah ini terdapat beberapa tarif yang harus dipahami untuk jasa:

  • Tarif PPh Pasal 23 atas jasa konstruksi adalah sebesar 2% dari penghasilan bruto yang diterima oleh pihak yang bukan Wajib Pajak
  • Tarif PPh Pasal 23 atas jasa lainnya adalah sebesar 4,2% dari penghasilan netto yang diterima oleh pihak yang bukan Wajib Pajak

Pasal 23 Atas Jasa adalah PPh yang dipungut oleh pihak-pihak yang bersifat nonprofit yang bertindak sebagai pemberi kerja terhadap penghasilan yang diterima oleh pihak lain sebagai imbalan atas pekerjaan atau jasa yang diberikan.

Beberapa contoh yang berkaitan dengan PPh Pasal 23 atas jasa adalah fee pengurus, penyusunan laporan keuangan, audit dan lain sebagainya. Jasa yang dihasilkan dapat berasal dari perusahaan publik maupun swasta, namun pajak PPh-23 ini dihitung hanya dari pihak yang bukan merupakan Wajib Pajak.

2. Tarif PPh Pasal 23 atas Dividen

Selain jasa, objek pengenaan PPh Pasal 23 masih bisa dikategorikan untuk dividen. Namun, tarif PPh Pasal 23 atas dividen ini memiliki perhitungan yang berbeda dengan pph yang dikenakan atas jasa atau pembayaran lainnya. Berikut adalah perhitungan tarif PPh Pasal 23 atas dividen:

Pajak penghasilan atas dividen sebesar 15% bagi penerima dividen yang tidak berkedudukan di Indonesia dan 10% bagi penerima dividen yang berkedudukan di Indonesia.

Tarif yang berbeda ini bergantung pada apakah penerima dividen berada di dalam atau di luar Indonesia. Jadi, perbedaan persentase tarif PPh Pasal 23 atas dividen tergantung dari bersifat wajib pajak atau bukan sebagai mana di perjelas di bawah ini:

  • Bagi penerima dividen yang merupakan Wajib Pajak, penyetoran pajak harus dilakukan dalam bentuk Self Assesment sebesar 15% dari dividen yang diterima
  • Bagi penerima yang menjadi orang asing atau bukan Wajib Pajak harus melalui pemotongan sebesar 20%
  • Pihak Wajib Pajak yang harus melakukan pemotongan dan penyetoran pajak adalah Pemegang Saham Perusahaan atau Emiten yang melaksanakan pembayaran dividen.
  • Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada saat penetapan hak pemegang saham untuk menerima dividen dilakukan oleh perusahaan

3. Penyusunan Laporan dan Pembayaran PPh Pasal 23

Untuk pelaporan PPh Pasal 23, terdapat ketentuan yang harus dipahami, yakni dalam waktu 1 bulan terhitung semenjak PPh Pasal 23 dipotong, maka harus segera dilaporkan ke DJP (Direktorat Jendral Pajak) Perusahaan atau Emiten. Sedangkan, bagi orang pribadi, maka yang melaporkan adalah lembaga yang menyediakan jasa.

Dalam hal ini, pihak penyedia jasa wajib menyampaikan SPT Masa Pajak Pasal 23 atas jasa yang bukan objek penanggung pajak sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 23 untuk dividen diatur melalui mekanisme yang berbeda. Tepatnya, pihak Wajib Pajak diminta untuk memotong PPh Pasal 23 sebesar 15% atau 10% dari pembayaran dividen. Kemudian, setelah pemotongan dilakukan, Pihak Wajib Pajak harus melakukan pelaporan melalui SPT Masa PPh Pasal 23 setiap bulannya.

Penting bagi Wajib Pajak untuk memahami tata cara menghitung, pemotongan dan pelaporan PPh Pasal 23, terutama bagi penyedia jasa atau bagi perusahaan yang membayarkan dividen agar terhindar dari permasalahan dan sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

PPh Pasal 23 Indonesia

Dalam menghitung dan membayar PPh Pasal 23, Pihak Wajib Pajak disarankan untuk mengandalkan jasa konsultan pajak yang berkompeten. Konsultan pajak bisa membantu para Wajib Pajak untuk memahami sepenuhnya aturan peraturan terbaru dalam perpajakan untuk bisa meminimalkan resiko terjadinya masalah dan sanksi dari pihak berwenang.

Contoh Soal dan Penyelesaian PPh Pasal 23


Contoh Soal PPh Pasal 23

Pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dikumpulkan oleh pihak yang membayar penghasilan kepada pihak yang menerima penghasilan. Contoh penghasilan bersih yang dikenakan PPh Pasal 23 di antaranya keuntungan dari investasi, bunga deposito, sewa, royalti, dan jasa teknis. Bagi yang belum terbiasa atau baru mengenal PPh Pasal 23, berikut ini adalah contoh soal dan penyelesaian PPh Pasal 23.

Contoh Kasus

PT A memperoleh pendapatan sewa gedung dari PT B selama 12 bulan sebesar Rp 120.000.000,00. PT B mengalami kerugian dan PT A memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% pada saat pembayaran sewa tiap bulannya.

Berapa besar PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT A pada saat pembayaran sewa per bulannya?

Penyelesaian

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT A per bulan dari sewa yang diterima oleh PT B:

PPh Pasal 23 = 2% x (Rp 120.000.000,00 : 12)

PPh Pasal 23 = 2% x Rp 10.000.000,00

PPh Pasal 23 = Rp 200.000,00

Jadi, PT A harus memotong PPh Pasal 23 sebesar Rp 200.000,00 pada saat pembayaran sewa setiap bulannya.

Contoh Kasus

PT C memperoleh keuntungan investasi reksa dana sebesar Rp 50.000.000,00 selama 6 bulan. Besarnya PPh Pasal 23 yang harus disetor oleh PT C adalah 3% dari penghasilan kotor.

Berapa besar PPh Pasal 23 yang harus disetor oleh PT C?

Penyelesaian

Penghasilan kotor yang diterima PT C selama 6 bulan:

Penghasilan kotor = Rp 50.000.000,00

PPh Pasal 23 yang harus disetor oleh PT C:

PPh Pasal 23 = 3% x Rp 50.000.000,00

PPh Pasal 23 = 0,03 x Rp 50.000.000,00

PPh Pasal 23 = Rp 1.500.000,00

Jadi, PT C harus menyetor PPh Pasal 23 sebesar Rp 1.500.000,00.

Contoh Kasus

PT D memperoleh royalti sebesar Rp 75.000.000,00 dari PT E selama 8 bulan. Besarnya PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT E adalah 4% dari penghasilan bruto.

Berapa besar PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT E?

Penyelesaian

Penghasilan bruto yang diterima PT D selama 8 bulan:

Penghasilan bruto = Rp 75.000.000,00

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT E:

PPh Pasal 23 = 4% x Rp 75.000.000,00

PPh Pasal 23 = 0,04 x Rp 75.000.000,00

PPh Pasal 23 = Rp 3.000.000,00

Jadi, PT E harus memotong PPh Pasal 23 sebesar Rp 3.000.000,00.

Contoh Kasus

PT F memperoleh penghasilan jasa teknis sebesar Rp 200.000.000,00 dari PT G selama 12 bulan. Besarnya PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT G adalah 2% dari penghasilan bruto.

Berapa besar PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT G?

Penyelesaian

Penghasilan bruto yang diterima PT F selama 12 bulan:

Penghasilan bruto = Rp 200.000.000,00

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT G:

PPh Pasal 23 = 2% x Rp 200.000.000,00

PPh Pasal 23 = 0,02 x Rp 200.000.000,00

PPh Pasal 23 = Rp 4.000.000,00

Jadi, PT G harus memotong PPh Pasal 23 sebesar Rp 4.000.000,00.

Dari contoh soal dan penyelesaiannya di atas, dapat disimpulkan bahwa perhitungan PPh Pasal 23 cukup mudah asalkan pelaku usaha atau wajib pajak memahami ketentuan perpajakan yang berlaku. Semoga informasi ini bermanfaat bagi Anda yang ingin memahami PPh Pasal 23 dengan lebih baik.

Terima Kasih Telah Membaca Contoh Soal PPH Pasal 23!

Semoga artikel ini dapat memberikan manfaat untuk Anda dalam memahami penerapan PPH Pasal 23 pada penghasilan perusahaan atau badan usaha. Jangan ragu untuk mengunjungi situs kami di masa mendatang untuk mendapatkan informasi seputar perpajakan dan bisnis lainnya. Kami sangat menghargai dukungan Anda sebagai pembaca setia. Sampai jumpa lagi!