Mengenal Pasal 279 KUHP yang Menjerat Pelakor di Indonesia

Pasal 279 KUHP merupakan sebuah hukuman yang dikenakan untuk pelaku perselingkuhan. Pelaku perselingkuhan atau yang sering disebut sebagai pelakor, kini semakin sering menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Pasal ini menjadi sangat penting untuk melindungi hubungan suami istri dari perbuatan perselingkuhan yang bisa merusak rumah tangga mereka. Di artikel ini, kita akan membahas lebih jauh tentang pasal 279 KUHP dan apa saja sanksi yang bisa diterima oleh pelakunya.

Definisi Pelakor dan Kandungannya dalam Pasal 279 KUHP


Pelakor

Pelakor adalah istilah yang paling sering dibicarakan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Kata ini berasal dari singkatan “perebut laki orang” yang merujuk pada wanita yang terlibat dalam hubungan percintaan dengan pria yang telah menikah. Kata “pelakor” pertama kali digunakan di Indonesia sebagai frasa netizen pada tahun 2008.

Sejak kemunculan pelakor, istilah ini mengundang banyak pro kontra di masyarakat. Pada tahun 2019, pelakor akhirnya diatur dalam pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai tindak pidana.

Pasal 279 KUHP menyatakan, “Setiap orang yang, dalam suatu perkawinan, melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan pasangan hidupnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak 4.500.000 ribu rupiah.”

Pasal ini menunjukkan bahwa hubungan pelakor dapat dikenakan sanksi pidana, terutama jika pasangan yang terlibat dalam hubungan pelakor telah menikah. Pidana yang dikenakan tergolong ringan, namun hal tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah kebiasaan tidak baik.

Pada umumnya, istilah pelakor dipandang negatif oleh masyarakat Indonesia karena dinilai merusak hubungan rumah tangga orang lain. Banyak kasus pelakor yang menimbulkan dampak psikologi yang besar bagi keluarga yang terlibat, terutama istri dan anak-anak suami yang terlibat dalam hubungan pelakor.

Namun, ada juga kalangan yang memandang pelakor sebagai korban. Beberapa wanita menjadi pelakor karena dipaksa atau karena tidak sadar jika pria yang mereka cintai telah menikah. Ada pula yang menjadi pelakor karena dirinya sendiri tidak mengetahui bahwa pria yang dicintainya sebenarnya sudah berkeluarga.

Beberapa tokoh masyarakat Indonesia memberikan pandangan yang berbeda mengenai pasal 279 KUHP. Ada yang menilai pasal ini tidak cukup memberikan efek jera, sementara ada yang justru memandang pasal ini sebagai langkah maju untuk menyelamatkan institusi pernikahan di Indonesia. Perlu diingat bahwa permasalahan pelakor bukan hanya tentang kesalahan individu, tetapi juga tentang ketidakmerataan gender dan masalah sosial yang lebih besar.

Dalam kasus pelakor, penting bagi masyarakat Indonesia untuk menjadi pemikir yang progresif dan tidak hanya sekadar menyalahkan pelaku saja. Di satu sisi, masyarakat harus membantu memperkuat institusi pernikahan dengan menempatkan pentingnya kesetiaan dan komitmen dalam hubungan. Di sisi lain, masyarakat harus bekerja sama untuk mengatasi faktor-faktor sosial yang dapat memicu munculnya pelakor, seperti ketidakmerataan gender dan pendidikan seksual yang kurang.

Bentuk Tindakan Pelakor yang Dihukum Menurut Pasal 279 KUHP


Pasal 279 KUHP dikenal sebagai Pasal tentang Pelanggaran Hubungan Suami Istri. Pasal ini banyak dijadikan acuan untuk menjerat pelakor atau perebut laki/orang ketiga/istri selingkuh yang memperdaya suami orang lain. Melakukan perselingkuhan memang merupakan perilaku yang sangat tidak pantas dilakukan, apalagi jika dilakukan secara terang-terangan akan sangat merusak tatanan keluarga dan bahkan dapat berujung pada perceraian. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang sebagai dasar untuk menghukum para pelakunya.

Berikut ini ada beberapa bentuk tindakan pelaku yang dihukum menurut Pasal 279 KUHP:

1. Menjalin hubungan suami istri dengan orang yang sudah memiliki pasangan hidup lainnya

Bentuk tindakan pertama yang diatur dalam Pasal 279 KUHP adalah menyentuh hubungan suami-istri orang lain baik itu dengan cara selingkuh atau ngojek. Pasal ini tertulis dalam pasal 279 KUHP ayat 1 yang menyatakan bahwa, “Barangsiapa dengan sengaja melakukan persetubuhan dengan seseorang yang dalam perkawinannya terikat dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.”

Meskipun pasangan yang melakukannya lebih dari satu kali atau secara terbuka yang dapat dihukum ketat berdasarkan hukum pidana, pasangan yang ketahuan berselingkuh dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal sembilan tahun.

2. Membuat perselingkuhan pada pasangan yang memiliki ikatan pernikahan

Bentuk tindakan kedua yang dapat dihukum menurut Pasal 279 KUHP adalah membuat perselingkuhan dengan pasangan yang sudah melakukan ikatan pernikahan. Hal ini diatur dalam pasal 279 ayat 2 KUHP yang menyatakan bahwa, “Pasangan yang tidak terikat oleh perkawinan dan sulit ditawan karena tidak mematuhi hukuman penjara atau menyerang orang lain, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 9 tahun.”

Artinya, jika pasangan selingkuh yang ada masih dalam ikatan pernikahan yang sah, dia dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal sembilan tahun oleh hukuman pidana. Pasal ini berlaku jika pasangan itu sengaja melakukan perselingkuhan, bukan karena alasan kekerasan atau pemaksaan.

3. Membayar orang lain untuk melakukan perselingkuhan

Bentuk tindakan ketiga pelaku yang dapat dihukum berdasarkan Pasal 279 KUHP adalah membayar orang lain untuk melakukan perselingkuhan. Hal ini disebutkan dalam pasal 279 ayat 3 KUHP yang menyatakan bahwa, “Seseorang yang memfasilitasi pernikahan, perselingkuhan, ataupun hubungan lainnya dengan orang yang sudah menikah atau telah menikah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.”

Dalam hal ini, pasangan selingkuh yang membayar orang lain untuk berselingkuh, sama saja dengan membuat pelanggaran hukum. Hal itu merupakan suatu tindakan yang sangat merugikan dan dapat menimbulkan kekacauan dalam kehidupan keluarga. Oleh sebab itu, orang yang melakukan tindakan tersebut dapat dihukum penjara maksimal sembilan tahun.

4. Melakukan tindakan tidak pantas kepada pasangan orang lain

Yang terakhir adalah bentuk tindakan keempat yang dapat dihukum menurut Pasal 279 KUHP adalah melakukan tindakan tidak pantas pada pasangan orang lain. Hal ini diatur dalam pasal 279 ayat 4 KUHP yang menyatakan bahwa, “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum lainnya, merusak keutuhan perkawinan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,-”

Jadi, tindakan tidak pantas mencakup segala tindakan yang dilakukan oleh pelakor untuk merusak keutuhan hubungan pasangan orang lain, seperti membuat bohong atau memberi kontribusi negatif pada suatu hubungan.

Nah itulah bentuk-bentuk tindakan pelaku yang dihukum menurut Pasal 279 KUHP dan hukuman pidana yang diterima jika kedapatan melakukannya. Melakukan tindakan selingkuh seolah menjadi trend di masyarakat kita. Namun, kita harus memahami bahwa sebagai warga negara yang baik, kita harus patuh pada aturan dan tidak melakukan tindakan kriminal, termasuk tindakan selingkuh. Mari kita jaga keluarga dan rumah tangga dengan baik, terlebih lagi sebagai orang yang beriman dan bertanggung jawab.

Ancaman Hukuman Bagi Pelakor Berdasarkan Pasal 279 KUHP


pasal 279 kuhp pelakor

Berdasarkan Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, pelakor atau pihak ketiga yang terlibat dalam perselingkuhan yang mengganggu rumah tangga dapat diancam dengan hukuman pidana. Pasal ini menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tersebut dapat dikenakan pidana penjara selama 9 bulan atau denda sebesar Rp4.500.000,00.

Bagi pasangan suami istri yang menjadi korban perselingkuhan, mereka dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada pelakor. Gugatan ini dapat mencakup kerugian moral, penghasutan terhadap kekacauan di rumah tangga, moral dan citra diri yang terganggu, dan pengorbanan yang dilakukan oleh pasangan yang tidak bersalah.

Namun, tidak semua tindakan perselingkuhan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Pasal 279 KUHP. Untuk dapat dibuktikan, tindakan perselingkuhan harus memenuhi beberapa syarat di antaranya sebuah hubungan intim yang benar-benar terjadi antara suami atau istri dengan pihak ketiga. Selain itu, perlu ada bukti konkret seperti rekaman atau foto yang menunjukkan adanya perselingkuhan.

Jika terbukti bersalah, pelakor dapat menghadapi sanksi pidana dan gugatan ganti rugi. Hukuman pidana yang dijatuhkan oleh hakim tergantung pada berbagai faktor seperti tingkat kesalahan pelakor, besarnya kerugian yang ditimbulkan dan dampaknya terhadap kemajuan rumah tangga.

Pengaruh Pasal 279 KUHP terhadap Masyarakat


pasal 279 kuhp

Pasal 279 KUHP telah memainkan peran penting dalam melindungi keluarga dan masyarakat dari gangguan perselingkuhan. Dalam praktiknya, pasal ini telah digunakan sebagai dasar hukum untuk mengajukan tuntutan terhadap pelakor dan memperoleh ganti rugi.

Dalam beberapa kasus, Pasal 279 ini melindungi pasangan suami istri agar tidak merasa terpaksa menerima perselingkuhan pasangan mereka sebagai suatu hal yang wajar dalam kehidupan perkawinan. Dampak positif dari pasal ini dapat menurunkan angka perselingkuhan dan menjaga keharmonisan rumah tangga.

Terlepas dari manfaatnya, Pasal 279 juga kerap menimbulkan kontroversi. Beberapa orang berpendapat bahwa Pasal 279 menyalahi hak asasi manusia dan kebebasan individu. Mereka berpendapat bahwa pasangan yang terlibat dalam perselingkuhan memiliki hak untuk mengekspresikan kemerdekaan pribadinya dan memilih untuk menjalani kehidupan di luar perkawinan mereka.

Kontroversi ini menghasilkan pandangan berbeda-beda terkait masalah ini. Namun, dalam praktiknya, Pasal 279 KUHP adalah hukuman yang diterapkan pada pelakor sepenuhnya, dan tidak pada pasangan yang melakukan perselingkuhan tersebut.

Penegakan Hukum terhadap Pelakor


pasal 279 kuhp

Penegakan hukum terhadap pelakor sering dianggap sulit dalam prakteknya. Pasal 279 KUHP membutuhkan bukti yang jelas dan bahwa pasangan suami istri harus menyajikan bukti konkret sebelum pengadilan. Bukti yang dianggap relevan dan dapat diterima oleh pengadilan antara lain adalah rekaman video, foto-foto, dan kesaksian dari pihak ketiga.

Tantangan lain dalam menegakkan hukum terhadap pelakor adalah ketidakjelasan tentang jumlah ganti rugi yang dibutuhkan. Kerugian yang terjadi sulit ditaksir jumlahnya karena bersifat non-materiil dan sulit diukur dalam bentuk uang.

Meskipun tantangan penegakan hukum menjadi kenyataan, pasal ini secara perlahan mulai menggeser pandangan bahwa pelakor tidak boleh dituntut karena dianggap sebagai masalah pribadi yang harus diselesaikan oleh pasangan suami istri itu sendiri. Dengan adanya pasal 279 KUHP, pelakor yang merusak keutuhan rumah tangga akan menerima konsekuensi pidana yang sesuai dengan tindakannya.

Kesimpulannya, Pasal 279 KUHP merupakan hukum yang memberikan perlindungan bagi pasangan suami istri yang menjadi korban dari tindakan perselingkuhan. Namun, penegakan hukum terhadap pelakor masih memiliki tantangan tersendiri dalam prakteknya. Meskipun dengan segala tantangan tersebut, Pasal 279 KUHP menunjukkan bagaimana hukum dapat mendorong perubahan sosial dan melindungi hak asasi manusia.

Perlindungan Hukum bagi Korban Pelaku Perselingkuhan Menurut Pasal 279 KUHP


Pasal 279 KUHP

Perselingkuhan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menjalin hubungan dengan pasangannya namun kemudian memilih untuk berhubungan dengan orang lain. Tidak hanya membuat sakit hati pasangan sah, perselingkuhan juga dapat menimbulkan masalah hukum bagi pelakunya. Pasal 279 KUHP menjelaskan tentang tindakan perselingkuhan yang dapat dilakukan oleh seseorang dan pelanggaran hukum yang dihadapinya.

Definisi Pelakor dalam Pasal 279 KUHP


pelakor

Pasal 279 KUHP menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perselingkuhan dengan orang yang sudah bersuami atau beristri dianggap melakukan tindakan yang merugikan setiap pasangan sah. Pelakor adalah istilah yang merujuk pada orang yang digugat sebagai pelaku perselingkuhan. Pelakor dapat berupa laki-laki atau perempuan dan terkadang dikenal sebagai pihak ketiga dalam hubungan percintaan yang sudah terikat.

Perlindungan Hukum bagi Korban Perselingkuhan Menurut Pasal 279 KUHP


Perlindungan Hukum bagi Korban Perselingkuhan

Korban perselingkuhan terkadang merasa kesulitan untuk menuntut pelaku perselingkuhan secara hukum. Namun, Pasal 279 KUHP memberi perlindungan hukum bagi korban perselingkuhan. Jika korban perselingkuhan merasa dirinya dirugikan oleh tindakan perselingkuhan yang dilakukan oleh pelakor, ia dapat mengajukan tuntutan hukum. Korban memiliki hak untuk menuntut pelakor atas tindakan merugikan yang telah dilakukannya, meskipun pelakor adalah orang yang tidak memiliki hubungan sah dengan dirinya.

Bentuk Ganti Rugi yang Dilakukan Pelakor Menurut Pasal 279 KUHP


Bentuk Ganti Rugi Pelakor

Jika korban perselingkuhan telah mengajukan tuntutan hukum terhadap pelakor, pelakor dapat diminta untuk memberikan ganti rugi kepada korban. Bentuk ganti rugi yang harus diberikan oleh pelakor kepada korban perselingkuhan termasuk kerugian materiil dan moral. Kerugian materiil mencakup segala biaya yang dikeluarkan korban sebagai akibat dari perselingkuhan, misalnya biaya kesembuhan pasangan sah karena sakit jiwa atau biaya perawatan kesehatan akibat menderita penyakit seksual. Sedangkan kerugian moral dapat mencakup rasa malu, amarah dan kecewa yang dialami oleh pasangan sah.

Perlindungan Hukum bagi Anak dalam Perselingkuhan Menurut Pasal 279 KUHP


Anak dalam Perselingkuhan

Sebagai akibat dari perselingkuhan, dapat muncul anak penyambung dari hubungan perselingkuhan. Dalam kasus seperti ini, anak penyambung harus dilindungi sesuai dengan Pasal 279 KUHP. Anak penyambung harus diberikan hak-hak yang sama dengan anak sah yang dilahirkan dalam hubungan perkawinan. Pelakor dan pasangan sah harus memastikan bahwa hak-hak anak penyambung tidak terpinggirkan.

Kesimpulan


Pasal 279 KUHP

Pasal 279 KUHP memberikan perlindungan hukum bagi korban perselingkuhan dan anak penyambung dari hubungan perselingkuhan. Pelakor juga dapat dikenai tuntutan hukum yang mengharuskan mereka membayar ganti rugi materi dan moral. Oleh karena itu, setiap orang harus berhati-hati dan menghargai hubungan percintaan yang sudah terikat. Perselingkuhan tidak hanya dapat merusak hubungan yang sudah ada, tetapi juga memberikan dampak buruk secara hukum. Menjalani hubungan yang adil dan terikat secara administratif merupakan tindakan terbaik untuk mencegah pelanggaran hukum dan melindungi pasangan dari kerugian yang dapat diperoleh dari perselingkuhan.

Terima Kasih Sudah Membaca Tentang Pasal 279 KUHP Pelakor

Bagaimana tanggapanmu tentang Pasal 279 KUHP Pelakor? Apakah kamu setuju dengan hukuman bagi pelaku orang ketiga dalam pernikahan? Meskipun kontroversial, pasal ini menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia selalu mengalami perubahan dan penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat. Jangan lupa, kita semua bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan rumah tangga dan menghormati hak-hak pasangan lain. Terima kasih sudah memberikan waktu untuk membaca artikel ini dan jangan lupa untuk Selalu kunjungi kembali kami untuk informasi lainnya. Sampai jumpa!